Pemilu, Pesta atau Tragedi ?!

PEMILU di Indonesia diidentikkan dengan istilah pesta demokrasi. Istilah pesta demokrasi sesungguhnya hanya berlaku di Indonesia. Di negara-negara lainnya di dunia, pemilu hanya dianggap sebagai proses politik untuk memilih jabatan politik di Pemerintahan tanpa diembel-embeli dengan istilah pesta demokrasi. Hal ini disebabkan karena demokrasi yang berarti pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat telah menjadi nyawa bagi jalannya pemerintahan di negara-negara maju.

Istilah pesta demokrasi di Indonesia mulai muncul menjelang tumbangnya rezim orde baru. Istilah tersebut sekilas menggambarkan bahwa di Indonesia berlaku yang namanya sistem demokrasi. Namun, istilah tersebut sekaligus juga telah memberikan gambaran kepada kita bahwa demokrasi hanya diberikan kepada masyarakat sekali dalam lima tahun. Di Indonesia, masyarakat hanya dapat menikmati demokrasi pada saat PEMILU dilaksanakan.

Kenyataannya memang demikian. Para wakil rakyat yang terpilih untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat, hanya mau dekat dengan masyarakat disaat PEMILU semakin menjelang. Tentu saja harapannya agar masyarakat berkenan untuk memilih mereka kembali dalam PEMILU. Demikian halnya dengan partai politik, -setelah calon-calon yang mereka jagokan terpilih- mereka perlahan menjauh dari masyarakat, dan kembali lagi disaat PEMILU menjelang dengan menjual janji-janji baru dan berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada partainya.

Bagi kita, ini bukanlah pesta, tapi sebuah tragedi demokrasi !

Adalah benar bahwa dalam PEMILU, masyarakat telah menentukan pilihan politiknya sendiri yang dijamin oleh Undang-undang. Namun, tidak serta merta kita dapat mengatakan bahwa PEMILU telah mewakili seluruh proses demokrasi dimana pemerintahan dipilih dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena sistem demokrasi, secara politik, berarti pemerintahan yang dikontrol oleh rakyatnya dan secara ekonomi, berarti pemerintahan yang mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.

Demokrasi memiliki 3 aspek kerakyatan, yakni dari, oleh dan untuk rakyat. PEMILU hanya mewakili satu aspek demokrasi, yakni pemerintahan dari rakyat. Itupun belum sepenuhnya demokratis. Oleh karena dalam PEMILU masyarakat hanya berhak untuk memilih wakil mereka yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Pilihan masyarakat tersebut telah dibatasi oleh keputusan-keputusan partai politik yang secara semena-mena menentukan sendiri siapa calon-calon legislatif yang akan diusungnya.

Mengapa dikatakan semena-mena? Oleh karena penentuan tersebut dilakukan secara sepihak oleh partai politik tanpa alasan yang jelas dan dipertanggungjawabkan secara transparan kepada masyarakat luas. Lalu bagaimana dengan PDK sendiri? Ini akan kami jelaskan lebih lanjut dalam paper ini.

Jelas bahwa PEMILU belum mewakili 2 aspek lainnya dalam demokrasi, yakni Pemerintahan oleh rakyat, yang dapat dimaknai sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang dikontrol oleh masyarakatnya dan pemerintahan untuk rakyat yang dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.

Dua aspek yang disebutkan terakhir inilah yang paling langka kita temukan di Indonesia, terlebih di Kabupaten Kutai Timur. Bagaimana mungkin mewujudkan pemerintahan oleh dan untuk rakyat jika para wakil rakyat hanya merasa berkepentingan untuk turun berbaur dengan masyarakat pada saat menjelang PEMILU?

Pemerintahan oleh dan untuk rakyat hanya mungkin diwujudkan bila para wakil rakyat tidak hanya duduk diam menunggu masyarakat datang untuk menyampaikan aspirasinya dengan cara unjuk rasa. Wakil rakyat harus turun menyerap aspirasi masyarakat, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan mensosialisasikan kinerja pemerintahan kepada masyarakat serta memperjuangkan aspirasi masyarakat hingga dapat diwujudkan.

Istilah pesta demokrasi sesungguhnya ditujukan untuk mengajak masyarakat menggunakan hak pilihnya pada saat PEMILU. Hal ini disebabkan karena menjelang runtuhnya kekuasaan rezim orde baru, terjadi krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah yang semakin meluas. Krisis kepercayaan tersebut, dapat mengakibatkan rendahnya jumlah wajib pilih yang menggunakan haknya saat PEMILU karena mengencangnya issu GOLPUT hingga BOIKOT PEMILU. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mengakibatkan krisis legitimasi pemerintahan, sehingga harus dicegah dengan mengidentikkan PEMILU sebagai pesta demokrasi.

Celakanya, sebagian besar partai politik cenderung larut dalam issu Pesta Demokrasi. Seolah-olah jumlah suara yang didapatkan pada saat PEMILU telah menjadikan mereka berhak bertindak dan mengambil keputusan untuk dan atas nama rakyat, tanpa harus mendengarkan keluh kesah penderitaan rakyat. Inilah tragedi atas demokrasi yang dipestakan 5 tahun sekali di Indonesia.

Diidentikkan dengan pesta atau tidak, PEMILU tetaplah menjadi harapan bagi lahirnya perubahan kearah yang lebih baik. Bagi kita, pemilu dapat menjadi pesta demokrasi jika masyarakat dan Partai Politik mampu memaknai PEMILU sebagai ajang untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan bukan hanya sekedar ajang cari muka demi mendapatkan simpati dari masyarakat.

Lalu bagaimana cara membedakan antara partai politik yang benar-benar berkomitmen terhadap rakyat dan partai politik yang hanya sekedar cari muka ?

Paper ini selanjutnya akan mengantarkan anda untuk melihat perbedaan-perbedaan antara partai politik yang benar-benar komitmen untuk membangun masyarakat dan partai politik yang hanya sekedar mencari muka kepada masyarakat.


0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial