Benarkah Kutai Timur Surga Bagi Transmigran ?!

Setelah menempuh perjalanan sekitar kurang lebih 3 jam dari ibukota kabupaten Kutai Timur, akhirnya kami sampai di desa yang bernama Bumi Jaya. Desa bumi jaya merupakan salah satu dari delapan desa dalam wilayah Kecamatan Kaubun di Kabupaten Kutai Timur. Desa Bumi Jaya juga dikenal dengan sebutan SP III atau Satuan Pemukiman tiga. Istilah satuan pemukiman tersebut, merupakan istilah yang diberikan kepada pemukiman transmigran di wilayah Kabupaten Kutai Timur.

3 jam diatas kendaraan merupakan waktu yang relatif singkat. Meski demikian, seluruh badan rasanya pegal-pegal. Bagaimana tidak ?, untuk sampai di Desa Bumi Jaya yang cukup dekat dengan ibukota kabupaten, kita harus melewati medan jalan yang sangat berat dan beresiko. Siapa yang menyangka bahwa dibalik bukit yang terpencil dan diujung jalan yang sulit dilalui terdapat ribuan masyarakat yang hidup berkelompok dalam beberapa desa, salah satunya adalah Desa Bumi Jaya.

Masyarakat Desa Bumi Jaya tinggal di rumah-rumah transmigran yang dibangun sejak tahun 1988. Rumah transmigran yang akrab disebut sebagai rumah trans tersebut, berukuran sekitar 4 x 6 meter, sehingga cukup sesak dijadikan tempat tinggal bagi lebih dari 4 orang anggota keluarga. Mungkin karena itulah, sehingga telah menjadi kebiasaan di sekitar wilayah ini yang menilai tingkat kesejahteraan warga trans pertama kali dari bentuk rumahnya, apakah masih orisinil atau sudah direnovasi. Jika bentuknya masih orisinil, berarti tingkat kesejahteraannya masih rendah, dan bila sudah direnovasi sedemikian rupa, berarti tingkat kesejahteraannya sudah sedikit berada diatas rata-rata masyarakat sekitar. Ironisnya, sebagian besar masyarakat di desa Bumi Jaya tinggal dirumah-rumah trans yang masih orisinil dan telah berumur puluhan tahun.

Kecamatan Kaubun memang terkenal dengan potensi berasnya, di Desa Bumi Jaya saja, terdapat sekitar 120 KK dari 174 KK di desa ini yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan cara bertani. Potensi lahan pertanian di Desa Bumi Jaya memang relatif besar, yakni sekitar 100 ha. Dari potensi tersebut, luas lahan yang dikelola oleh masyarakat saat ini hanya sekitar 60 ha, dengan hasil rata-rata 3-4 ton gabah per hektar sekali panen.

Hasil panen di Desa Bumi Jaya memang relatif kecil bila dibandingkan dengan hasil panen dari daerah-daerah penghasil beras lainnya di Indonesia, seperti Sulawesi. Hal ini disebabkan karena pengelolaan pertanian di Kabupaten Kutai Timur, khususnya di Desa Bumi Jaya masih sangat minimalis. Secara keseluruhan di desa Bumi Jaya hanya terdapat 5 handtractor. 4 diantaranya dalam kondisi yang buruk, sedangkan 1 dalam keadaan yang tidak dapat digunakan lagi.

Bisa dibayangkan, bagaimana sawah seluas kurang lebih 60 ha dapat dikelola secara baik ?, jika kita berasumsi bahwa 1 handtractor dapat digunakan untuk membajak sawah seluas 1 ha selama 3 hari, berarti sawah seluas 60 ha hanya dapat dibajak selama 180 hari. Selanjutnya, jika kita berasumsi bahwa 4 handtractor yang terdapat di Desa Bumi Jaya dalam keadaan normal sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya, maka waktu yang dibutuhkan untuk membajak sawah seluas 60 ha, adalah selama 45 hari atau satu bulan setengah.

Ini berarti terdapat tenggang waktu selama satu bulan setengah yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya, karena petani harus membajak sawah. Kondisi ini semakin diperparah dengan sistem pengairan yang hanya menggunakan sistem tadah hujan, sehingga masa tanam hanya dua kali setahun. Itupun jika curah hujan cukup memadai. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa sulit bagi kita untuk mengharapkan adanya perkembangan yang signifikan dari sektor pertanian di Desa Bumi Jaya, sebagai salah satu desa penghasil beras di Kec. Kaubun yang telah menjadi barometer produktivitas pertanian di Kabupaten Kutai Timur.

Sungguh ironis, jika kita mencermati adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini di satu sisi, tapi di sisi lain, petani di Desa Bumi Jaya masih mengelola potensi pertaniannya dengan cara yang sangat sederhana. Parahnya lagi, keterbatasan petani tersebut terjadi ditengah derasnya propaganda dan kampanye GERDABANGAGRI dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kab. Kutai Timur.

Seperti yang telah disebutkan diatas, di Desa Bumi Jaya terdapat 120 KK yang mengelola lahan pertanian seluas kurang lebih 60 ha. Ini berarti, jika dirata-ratakan, maka satu KK mengelola lahan pertanian seluas setengah (1/2) hektar. Jika dihitung hasil pertanian dalam setiap hektarnya adalah sebesar 3 ton, berarti untuk setiap KK yang mengelola lahan seluas ½ hektar, mampu menghasilkan gabah sebesar 1,5 ton dalam sekali masa tanam atau sekitar 6 bulan. Gabah sebanyak 1,5 ton jika diolah, maka dapat menghasilkan beras sebanyak 900 kg.

Beras sebanyak 900 kg yang diproduksi oleh petani selama 6 bulan, tentu saja tidak untuk dijual seluruhnya, namun juga untuk dikonsumsi petani dan keluarganya selama 6 bulan masa tanamnya berikutnya. Jumlah penduduk di Desa Bumi Jaya adalah 627 jiwa dan 174 KK, yang jika dirata-ratakan, maka didapat pembulatan sebanyak 4 jiwa dalam satu KK. Jika kita kembali berasumsi bahwa jumlah beras yang dikonsumsi untuk 1 KK dalam satu hari adalah 2 Kg, maka dalam satu bulan jumlah konsumsi beras keluarga adalah 60 Kg, sehingga dalam 6 bulan jumlah beras yang dikonsumsi keseluruhan adalah 360 Kg. Dengan demikian, jumlah beras yang dapat dijual oleh petani adalah sebanyak 900 kg dikurangi 360 kg untuk konsumsi tersisa sebanyak 540 Kg.

Jika kita mengenakan harga tertinggi yang berlaku dalam pasar beras di Kec. Kaubun selama ini sebesar Rp. 4.500,-/kg dikalikan 540 kg, maka terdapat penghasilan petani dalam setiap KK sebesar Rp. 2.430.000,- selama 6 bulan, yang berarti penghasilan petani sebesar Rp. 405.000,-/bulan. Hasil pertanian tersebut dijual kepada tengkulak, karena Pemerintah Daerah tidak memfasilitasi pemasaran hasil produksi masyarakat. Penghasilan sebesar Rp. 405.000 per bulan tentu saja sangat jauh dari tingkat upah minimum kota yang berlaku. Belum lagi setiap KK rata-rata memiliki tanggungan sebanyak 3 orang. Bagaimana kebutuhan hidup lainnya seperti, pendidikan, lauk pauk, papan, pakaian dan lain sebagainya mampu dipenuhi oleh petani?

Asumsi diatas belum menghitung jika pendapatan tersebut harus dikurangi untuk biaya produksi masa tanam berikutnya, meliputi : pembelian bibit, pupuk dan lain sebagainya, yang biasanya membutuhkan anggaran sebesar 2-3 juta untuk sekali masa tanam. Ini berarti selama masa tanam berikutnya, petani dan anggota keluarganya hanya makan beras, dan tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Dengan kata lain, jika petani di Desa Bumi Jaya tetap bertahan mendukung program GERDABANGAGRI sebagaimana yang dikampanyekan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, dalam kondisi yang demikian adanya, maka kemiskinan akan merebak dan penyakit gizi buruk akan melanda masyarakat.

Meski Pemerintah Kabupaten Kutai Timur telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD, jika kondisi tersebut tetap dipertahankan, maka kebodohan tidak akan terhindarkan. Masyarakat desa tidak akan terlalu jauh untuk memikirkan bagaimana agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidup melalui pendidikan, tetapi bagaimana agar esok mereka dapat makan. Jangankan alokasi anggaran 20% dari APBD, sanksi mendapat hukuman jika tidak sekolah-pun tentu saja akan diterima, karena tuntutan kebutuhan hidup. Sampai disini, dapat diasumsikan bahwa peningkatan kualitas pendidikan masyarakat bukan hanya dilihat dari jumlah alokasi anggaran di bidang pendidikan melainkan juga harus dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Jika kita berangkat dari asumsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika kualitas pendidikan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur rendah, sementara Pemerintah Kab. Kutai Timur telah mengalokasikan anggaran sebesar 20% dari APBD maka hal itu dapat disebabkan karena rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat di Kab. Kutai Timur.

Kembali ke Desa Bumi Jaya, mungkin diantara anda ada yang bertanya, mengapa lahan pertanian tidak diperluas sehingga produktivitasnya pun ikut meningkat? Potensi lahan di Desa Bumi Jaya memang mencapai 100 ha, namun karena keterbatasan petani maka yang mampu dikelola (itupun dengan susah payah) hanya lahan seluas 60 ha. Keterbatasan yang dimiliki oleh petani tersebut, cukup kompleks dan sepertinya hanya dapat diatasi jika Pemerintah Kab. Kutai Timur tidak hanya sekedar mengkampanyekan GERDABANGAGRI tetapi juga secara aktif memfasilitasi peningkatan ekonomi masyarakat dibidang pertanian.

Pertama, lahan tersebut tidak dapat diperluas karena keterbatasan pengairan yang hanya memanfaatkan tadah hujan sebagai sumber air. Dalam kondisi kemarau yang berkepanjangan, jangankan memperluas lahan yang ingin digarap, memenuhi kebutuhan air untuk lahan yang tersedia saja sudah cukup sulit.

Kedua, pengetahuan petani di bidang pertanian masih sangat rendah. Seperti yang kita ketahui, masyarakat transmigran berangkat dari kampung halamannya tanpa dibekali terlebih dahulu dengan kemampuan bertani. Jika diantara mereka ada yang mampu bertani, mungkin saja hal itu lebih disebabkan karena mata pencaharian mereka dulunya memang di bidang pertanian. Namun, kemampuan tersebut sulit untuk dijumpai karena program transmigrasi sendiri diadakan bukan untuk memindahkan masyarakat yang memiliki kemampuan bertani yang mumpuni atau mereka yang telah memiliki aset dan kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah asalnya. Justru sebaliknya, Pemerintah Daerah yang menjadi tujuan transmigran memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi peningkatan kesejahteraan masyarakat transmigran.

Ketiga, minimnya sarana penunjang. Sebelumnya telah dijelaskan, bahwa sarana penunjang seperti handtractor saja jumlahnya hanya ada 5 buah, sehingga membutuhkan waktu yang sekitar 1 ½ bulan untuk membajak sawah yang luasnya sekitar 60 ha. Jika luas lahan pertanian masih dikembangkan sampai 100 ha, berarti dibutuhkan waktu sampai tiga bulan untuk membajak sawah. Hal ini dapat mempengaruhi masa tanam, yang pada gilirannya harus disesuaikan dengan musim karena pengairan sawah masih memanfaatkan tadah hujan. Belum lagi sarana penunjang lainnya, seperti bibit dan pupuk serta biaya merintis lahan yang membutuhkan modal yang tidak sedikit. Jangankan untuk menambah beban biaya produksi, biaya yang dibutuhkan untuk produksi lahan yang tersedia saja petani sudah cukup kesulitan.

Lebih jauh lagi, ketersediaan sarana penunjang produksi (saprodi), seperti pupuk dan racun hama hampir bisa dikatakan langka. Saprodi hanya bisa didapatkan setelah dipesan satu minggu sebelumnya direkanan di Desa Bumi Rapak. Harganya dapat membengkak antara 20-40% bila dibandingkan dengan harga standar yang berlaku. Dalam kondisi yang demikian, juga tidak ada kepastian, apakah pesanan saprodi tersebut dapat dipenuhi atau tidak.

Di sisi lain, petani di Desa Bumi Jaya selalu berhadapan dengan masalah hama. Dalam 2 kali masa tanam setiap tahunnya, satu kali masa tanam petani akan berhadapan dengan hama yang tidak terlalu parah, dan satu kali masa tanam petani berhadapan dengan hama yang sangat parah. Ini berarti, dalam setiap masa tanam, petani di Desa Bumi Jaya selalu berhadapan dengan masalah hama.

Masalah hama ini, sulit dibasmi sampai tuntas oleh petani di Desa Bumi Jaya. Hal ini disebabkan karena minimnya saprodi dan sistem pengairan serta teknologi seperti handtractor yang digunakan oleh masyarakat. Kendala tersebut, telah menyebabkan penanaman dan masa panen tidak dapat dilakukan secara serempak oleh masyarakat. Sehingga hama terus menyebar di seluruh lahan pertanian.

Tidak serempaknya penanaman oleh masyarakat, juga terkadang menimbulkan sengketa dalam hal pengaturan pengairan lahan persawahan. Tanpa adanya sistem irigasi persawahan, pengairan lahan dalam satu area secara nyata dapat mengganggu lahan lainnya.

Bentuk gangguan lainnya yang mengurangi tingkat produktivitas masyarakat pertanian adalah adanya gangguan burung yang biasanya menyerang antara bulan 5-6 musim tanam. Gangguan lainnya adalah adanya serangan monyet dan babi yang belakangan ini semakin intensif. Gejala ini mulai muncul sejak terbukanya hutan yang dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. Pembukaan hutan untuk lahan-lahan perkebunan telah mengakibatkan menyempitnya ruang perkembangan populasi binatang secara cepat dan mendadak. Gangguan serangan monyet dan babi ini bukan hanya terhadap sawah masyarakat, tetapi juga biasanya ke rumah-rumah penduduk.

Selain bergerak di sektor pertanian, sejak beroperasinya PT. Gunta Samba yang mencakup beberapa Desa di Kec. Kaubun termasuk wilayah Desa Bumi Jaya, kebanyakan diantara masyarakat ikut bekerja sebagai Buruh Harian Lepas pada perusahaan perkebunan kelapa sawit ini. Sebagai buruh harian lepas, upah yang diberikan oleh pihak perusahaan berjumlah total sekitar Rp. 34 ribu per harinya.

Keberadaan PT. Gunta Samba di wilayah Kec. Kaubun memang cukup membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meski demikian, bagi masyarakat sekitar, pekerjaan tersebut tetap belum dapat memberikan jaminan kepastian dan keamanan kerja di Perusahaan karena statusnya yang masih buruh harian lepas. Tidak ada kepastian mengenai jaminan keselamatan kerja serta jumlah upah dan tunjangan lainnya. Hal ini membuat, masyarakat tidak dapat berharap terlalu banyak dari keberadaan perusahaan di sekitar tempat tinggal mereka.

Masyarakat melalui koperasi menjalin kerjasama dengan perusahaan yang memanfaatkan lahan masyarakat untuk ditanami kelapa sawit dengan bentuk plasma murni. Sekilas kita melihat adanya harapan bagi masyarakat untuk dapat hidup sejahtera di masa-masa yang akan datang. Apalagi bila masyarakat berangkat dari kondisi perekonomian mereka saat ini yang sangat terpuruk. Masyarakat bersedia untuk tidak memanfaatkan lahan mereka dan menunggu selama 4 tahun (masa berbuahnya sawit)untuk mendapatkan keuntungan sebanyak 30% dari hasil penjualan sawit yang ditanami oleh perusahaan di lahan mereka. Keuntungan sebanyak 30% tersebut, didapatkan karena perusahaan tetap mengambil bagian 70% untuk melunasi biaya penanaman sawit di lahan masyarakat yang dianggap sebagai pinjaman masyarakat. Untuk lahan seluas 2 ha di Desa Bumi Jaya pinjaman tersebut diperkirakan baru akan dapat dilunasi setelah 10 tahun.

Ini berarti, masyarakat diminta untuk tetap bertahan selama 4 tahun hidup dalam kondisi yang serba kekurangan dan setelah itu masyarakat belum mendapatkan hak mereka secara penuh karena harus melunasi pinjaman dari perusahaan. Kita semua tahu, bahwa lahan seluas 2 ha bila dikelola sendiri selama 4 tahun dengan baik dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Hanya saja, hal tersebut sulit dilakukan karena masyarakat berhadapan dengan masalah keterbatasan modal dan teknologi. Parahnya lagi, karena masalah keterbatasan modal dan teknologi bukannya dibantu oleh pemerintah daerah penyelesaiannya, malah menjadi apologi untuk menarik investor memanfaatkan lahan masyarakat. Dan akhirnya, masyarakat harus bertahan menunggu selama 4 tahun untuk mendapatkan pertolongan kecil demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

Setelah 4 tahun menunggu atau setelah sawit berbuah-pun sesungguhnya tidak ada jaminan berapa besar keuntungan atau hasil bisa yang didapatkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena sawit yang diproduksi dari lahan masyarakat hanya dapat dijual kepada perusahaan yang memiliki pabrik CPO. Sehingga harga jual sawit tersebut sangat tergantung kepada kebijakan perusahaan dan pasar. Sampai disini, akan berlaku teori dasar ekonomi, yakni “mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya”. Selain itu, akan timbul dominasi atas pasar karena monopoli perusahaan yang menguasai pabrik CPO, dengan kata lain, perusahaanlah satu-satunya pembeli sawit yang diproduksi masyarakat. Semakin banyak jumlah sawit yang diproduksi oleh masyarakat semakin rendah pula harga beli yang akan diberlakukan oleh perusahaan.

Inilah satu kesimpulan suram yang dapat mengancam kestabilan perekonomian di masa yang akan datang, dimana kemandirian ekonomi masyarakat di Kab. Kutai Timur dijual kepada perusahaan. Tidak adanya kemandirian ekonomi secara nyata dapat pula mempengaruhi kedaulatan politik masyarakat. Lalu bagaimana implementasi visi misi Kab. Kutai Timur? Tentunya, perlu diperhatikan, bahwa Pemerintah Daerah Kab. Kutai Timur seyogyanya membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur pelaksanaan investasi di Kab. Kutai Timur dengan mengedepankan adanya jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan.

Peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat juga bukan untuk dilempar dan menjadi tanggung jawab investor. Oleh karena otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang didalamnya terdapat kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan APBD sebesar Rp. 1,35 Trilyun bukan tidak mungkin bagi pemerintah Kab. Kutai Timur untuk membangun pabrik CPO sendiri atau melaksanakan program-program inovatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tentu saja hal tersebut, akan lebih bermanfaat dibandingkan membangun mesjid agung yang menghabiskan anggaran sekitar Rp. 160 milyar dikawasan bukit pelangi yang jauh dari tempat tinggal masyarakat, dimana mesjid-mesjid yang selama ini berada ditengah-tengah dan sering digunakan oleh masyarakat masih membutuhkan bantuan pembangunan.

Kembali ke Desa Bumi Jaya, selain kondisi jalan yang buruk dan beresiko, fasilitas dasar seperti listrik juga belum tersedia di desa ini. Akibatnya, waktu malam yang seharusnya dan biasanya dimanfaatkan oleh anak-anak sekolah untuk belajar atau mengerjakan PR menjadi sulit. Bagaimana bisa wajib belajar 12 tahun dapat dilaksanakan dengan baik ?. Akibat lainnya adalah tingginya biaya produksi yang menjadi beban masyarakat. Ini berarti, dengan adanya keterbatasan tersebut, listrik dan jalan yang buruk, maka biaya produksi yang menjadi beban masyarakat meningkat berkali-kali lipat.

Mungkin cukup sampai disini. Dibutuhkan kerja keras dan perhatian ganda dari Pemerintah Daerah yang harus dikelola secara lebih serius bila kita mengharapkan akan ada perubahan kondisi masyarakat di Kab. Kutai Timur, khususnya di Desa Bumi Jaya agar menjadi lebih baik.


0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial