Menembus Kabut Pemekaran

Free Image Hosting at www.picturetrail.com

Pengantar

Setelah ± 8 tahun diterapkan di Indonesia, otonomi daerah telah berhasil mengancam menggelembungnya alokasi dana dari APBN kepada daerah-daerah melalui pembagian Dana Alokasi Umum (DAU). Seiring dengan perkembangan otonomi daerah tersebut, solusi-solusi alternatif selain pemekaran daerah yang pada awalnya dianggap sebagai jawaban peningkatan kesejahteraan rakyat mulai bermunculan kembali.

Pemekaran daerah-daerah di Indonesia, telah dianggap sebagai masalah baru yang justru mengancam tingkat kesejahteraan masyarakat, menguras APBN, rawan konflik, dan dimanfaatkan oleh elit-elit politik lokal untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tidak lama setelah Pidato Presiden SBY yang menginginkan dihentikannya pemekaran sementara waktu, wakil presiden JK juga mengeluarkan instruksi kepada kader-kadernya dari Partai Golkar untuk tidak mengambil peran penting dalam usaha perjuangan pemekaran daerah-daerah di Indonesia.

Sebelumnya, hasil penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menunjukkan pemekaran daerah yang berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dimana data perekonomian yang baru dan lama pada sampel tersebut diperbandingkan. Besaran tren ekonomi yang diamati meliputi pendapatan domestik regional bruto, pendapatan per kapita, konsumsi masyarakat, pembentukan modal tetap, tingkat ekspor, dan angka pengangguran. Hasilnya, secara umum kegiatan ekonomi cenderung menurun atau terjadi perlambatan setelah pemekaran. Penyebabnya, setelah pemekaran, kerja sama ekonomi masyarakat justru melemah, skala produksi mengecil, dan persaingan antar daerah menguat. Akibatnya, biaya ekonomi membesar dan lokasi geografis kurang mendukung kegiatan ekonomi

Hasil evaluasi Departemen Dalam Negeri juga memperlihatkan adanya sejumlah persoalan terkait dengan pemekaran. Terdapat 87,71 persen daerah induk belum menyelesaikan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan, dan Dokumen). Kemudian, 79 persen daerah otonomi baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Selanjutnya, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru. Kemudian, 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran.

Senjata Makan Tuan

Dari sub judul diatas, mungkin anda sudah dapat membayangkan apa yang ingin disampaikan oleh penulis pada bagian tulisan ini. Benar, sebelum terlalu jauh kita membahas hasil penelitian sejumlah lembaga dan hasil evaluasi Departemen Dalam Negeri mengenai kegagalan sejumlah daerah untuk mensejahterakan rakyat dan meningkatkan pelayanannya, maka ada baiknya jika kita menengok kebelakang, mengulas sedikit history yang menjadi basis lahirnya gagasan penerapan otonomi daerah di Indonesia.

Masih lengang dalam ingatan kita bagaimana pola kekuasaan sebelumnya yang dijalankan di Indonesia, dimana terjadi sentralisasi kekuasaan di pusat serta adanya manajemen ekonomi yang carut-marut. Pola kekuasaan seperti ini, telah mengakibatkan adanya ketimpangan antara pusat dan daerah, dimana terjadi konsentrasi kekayaan di pulau jawa pada umumnya dan jakarta pada khususnya. Dari data-data yang ada, disebutkan bahwa pendapatan daerah yang terbesar adalah propinsi-propinsi yang ada di pulau Jawa (DKI Jakarta, 16,22 %; Jawa Barat, 16,73%; Jawa Tengah, 10,26%; dan Jawa Timur, (15,14%). Sementara propinsi yang berada di luar pulau Jawa, pendapatan daerahnya hanya berkisar antara 0,17% (Timor Timur) dan 5,81% (Sumatera Utara). Lebih lanjut, kesenjangan itu akan tampak semakin tajam jika kita melihat ketimpangan antara Jakarta dengan luar Jakarta, yang dengan luas 0,03% dan dengan jumlah penduduk sekitar 5% dari total populasi, menikmati sekitar 16% dari PDB Nasional. Kita bisa melihat, senjangnya jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran antara pusat dan daerah, kontrol modal yang lebih besar berada dipulau jawa.

Kesenjangan antar daerah juga bisa dilihat dari indeks kesejahteraan atau human development index (HDI), yang menyangkut tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan dan kemampaun daya beli (purchasing power parity). Daerah yang paling tinggi tingkat kesejahteraannya adalah Jakarta (77,5) dan yang paling rendah adalah Papua Barat (61,2). Menarik untuk dicermati, bahwa daerah yang kaya akan sumber daya alam memiliki tingkat HDI yang lebih rendah bila dibandingkan dengan PDRB per kapita mereka. Ini berarti bahwa tingginya PDRB suatu daerah pada masa itu, tidak dapat dijadikan ukuran bahwa kesejahteraan rakyat di daerah tersebut ikut meningkat.

Jika kemudian propinsi Aceh dan Papua menjadi propinsi yang paling keras dalam menuntut “kemerdekaannya”, hal itu disebabkan karena pengelolaan potensi kekayaan alam di kedua propinsi tersebut selama ini, lebih banyak menguap meninggalkan daerahnya. Data BPS tahun 1993 menyebutkan, bahwa dari seluruh propinsi di Pulau Sumatera, Aceh merupakan propinsi yang memiliki desa miskin terbanyak, yaitu 2.275 desa (40,23 persen) dari jumlah seluruh desa (5.643). Sementara, semua desa Papua Barat termasuk kategori desa miskin, dimana dari 2000 desa, 80 persen di antaranya masuk dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selama PJP I, dari total dua juta rakyat Irian, 90 persennya ternyata tetap miskin.

Dengan adanya sentralisasi kekuasaan tersebut, maka pusat berhak untuk mengatur lalu lintas serta perimbangan keuangan pusat dan daerah tanpa harus meminta persetujuan dari daerah. Daerah dalam posisi ini hanya berfungsi sebagai pelayan terhadap penguasa di pusat. Dengan kata lain, akar dari seluruh pergolakan politik di daerah adalah persoalan politik yang berwatak sentralis.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa kebijakan otonomi daerah merupakan reaksi terhadap kontrol terpusat yang korup dan represif selama beberapa dekade. Pemerintah harus memenuhi tuntutan demokrasi dan reformasi jika mereka ingin menghindari gejolak sosial yang lebih parah, ciri bulan-bulan terakhir kekuasaan soeharto. Tekanan untuk melakukan reformasi politik datang dari wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Pada saat yang sama, krisis keuangan indonesia yang berlarut-larut menjadi insentif ekonomi yang kuat untuk melakukan desentralisasi. Tuntutan yang semakin kuat untuk merdeka di Aceh dan Papua Barat kemudian diikuti pula dengan tuntutan sistem federal dari Riau, Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur.

Simalakama Otonomi Daerah

Pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, rupanya belum memuaskan dan memperlihatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu dirasa perlu untuk ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Demikianlah bunyi konsideran UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menandai lahirnya era baru penerapan konsepsi otonomi daerah di Indonesia.

Tidak lama setelah berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004, rupanya pemerintah pusat kembali mengeluhkan persoalan implementasi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 yang memberatkan APBN dan menyatakan ketidakmampuan daerah-daerah untuk menjalankan otonominya masing- masing. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil evaluasi DEPDAGRI terhadap daerah-daerah pemekaran yang baru terbentuk serta besar anggaran yang harus dialokasikan dari APBN dalam bentuk dana perimbangan.

Hasil evaluasi DEPDAGRI terhadap daerah-daerah pemekaran mengenai ketidakmampuan daerah-daerah pemekaran untuk menjalankan otonominya, juga ditunjang oleh hasil penelitian beberapa lembaga independen seperti LIPI dan Balitbang KOMPAS dengan kesimpulan yang kurang lebih sama. Sampai disini, kita layak untuk bersepakat, jika kesimpulan atas hasil penelitian diatas berkaitan dengan ketidakmampuan daerah-daerah pemekaran untuk melaksanakan otonominya, disebabkan oleh adanya inkonsistensi oleh pihak-pihak dalam mengimplementasikan UU Nomor 32 Tahun 2004.

Selama ± 4 Tahun berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004, belum ada aturan pelaksana yang menerjemahkan impelementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 secara lebih kongkrit dan dapat digunakan sebagai pedoman dalam usaha pembentukan/pemekaran sebuah daerah. Ini merupakan kelemahan mendasar yang disebabkan adanya kelalaian Pemerintah Pusat dalam mencermati perkembangan pembangunan daerah-daerah secara nasional. Kelalaian ini dapat menjadi bencana baru bagi penegakan hukum di Indonesia, bila UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia dapat dianulir sementara waktu oleh seorang Presiden karena kelalaiannya sendiri.

Namun, -apa lacur,- oleh wakil presiden JK, persoalan yang timbul dalam otonomi daerah dijawab seolah-olah disebabkan oleh adanya tuntutan yang tidak berdasar dari masyarakat. Beberapa waktu lalu wakil presiden JK menginstruksikan kepada seluruh kader partai golkar untuk tidak berperan serta dalam upaya perjuangan pemekaran daerah. Statement ini secara nyata memperlihatkan wataknya yang anti demokrasi dan anti terhadap kesejahteraan rakyat.

Betapa tidak? Wapres JK telah meng-generalisir seluruh daerah memiliki kondisi yang sama. Lalu bagaimana bila ada daerah yang secara obyektif memang membutuhkan pemekaran? Ini artinya seorang wapres JK memang tidak menginginkan kesejahteraan rakyat. Demikian halnya, bahwa secara tidak langsung, mengasumsikan bahwa konsepsi otonomi daerah yang diberlakukan di Indonesia melalui UU Nomor 32 tahun 2004 adalah adalah konsep yang salah. Parahnya lagi, wapres JK sebagai ketua umum partai menginstruksikan kepada seluruh kader partai golkar untuk mengikuti jejaknya, yang berarti ikut menempatkan partai golkar pada posisi yang sama dengannya, sebagai partai yang anti demokrasi dan anti kesejahteraan rakyat.

Kondisi yang demikian, dapat membuat kita berasumsi bahwa konsesi atas tuntutan daerah-daerah karena adanya ketimpangan antara pulau jawa dan daerah kabupaten/kota yang dijawab dengan konsep otonomi daerah belum menemukan bentuknya yang pas. Namun, kita juga dapat berasumsi bahwa pemerintah pusat masih setengah hati dalam melaksanakan otonomi daerah.

Mengapa demikian ?

Pertama: hal ini bisa dilihat dari perubahan-perubahan konsepsi otonomi daerah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang lebih cenderung mengebiri hak-hak kabupaten/kota bila dibandingkan dengan ketentuan seperti yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999.

Kedua : pemerintah pusat telah lalai dengan tidak membuat sejumlah aturan pelaksana yang menjabarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sehingga benar-benar dapat diselenggarakan sesuai dengan ide dan gagasan awalnya, yakni dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip- prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Ketiga : melimpahkan kesalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pada daerah kabupaten/kota dengan mengharapkan “pengertian” daerah kabupaten/kota untuk tidak berusaha mensejahterakan masyarakat/melaksanakan pembangunan melalui pemekaran daerah, seperti yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

Hasil Penelitian : Evaluasi bagi Pusat atau Daerah ?

Evaluasi DEPDAGRI dan penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen telah menyimpulkan bahwa sebagian besar daerah pemekaran justru tidak berhasil melaksanakan otonominya dan mensejahterakan masyarakatnya. Sungguh satu hal yang sangat ironis, setelah sebuah daerah dinyatakan lulus melalui persyaratan dan survey yang dilakukan oleh pemerintah pusat, setelah dievaluasi justru dikatakan tidak mampu.

Kita lupa, atau mungkin pura-pura lupa, bahwa dibalik ketidakmampuan daerah terdapat kegagalan pemerintah pusat. Semakin banyak daerah yang dianggap tidak mampu melaksanakan otonominya, semakin panjang pula daftar kegagalan pemerintah pusat dalam mengawal pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat seharusnya dibarengi dengan asistensi yang ketat terhadap daerah-daerah dalam melaksanakan otonominya.

Hingga saat ini, efektivitas pelaksanaan otonomi daerah untuk menjawab peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui desentralisasi kewenangan pemerintah pusat kepada daerah belum dapat diukur apalagi sampai pada kesimpulan gagal. Hal ini disebabkan, karena konsepsi otonomi daerah masih dijalankan setengah hati, dan cenderung tidak konsisten dalam pelaksanaannya.

Kondisi ini semakin diperparah, dengan lahirnya sejumlah kebijakan nasional yang mencekik kehidupan masyarakat. Sebagai contoh : Kebijakan pencabutan subsidi BBM, Listrik, Air, Pendidikan, dan sebagainya. Pencabutan subsidi kebutuhan pokok masyarakat ini, memiliki efek domino terhadap seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Akibat-akibat yang ditimbulkannya, jelas tidak dapat di-recover dengan membagi-bagikan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp. 300 ribu per triwulan. Sebagai contoh : Kebijakan pencabutan subsidi tersebut dapat mengakibatkan biaya produksi membengkak dan perusahaan-perusahaan harus melakukan restrukturisasi atau efisiensi – sangat mungkin juga bangkrut,- dengan melakukan PHK massal. Upah yang selama ini diterima oleh seorang buruh saat bekerja, jelas sangat jauh berbeda dengan jumlah dana BLT sebesar Rp. 300 ribu rupiah per triwulan.

Secara nyata, kebijakan ini, mempengaruhi kemampuan daerah otonom/pemekaran dalam melaksanakan otonominya dan meningkatkan produktivitas ekonomi rakyat. Sehingga, kalaupun ada daerah pemekaran yang divonis gagal mensejahterakan masyarakatnya oleh lembaga-lembaga independen berdasarkan hasil penelitian, maka itu adalah kesimpulan yang terburu-buru. Timing-nya tidak tepat, karena situasi ekonomi memang masih belum stabil (fluktuatif) sebagai akibat dari kegagalan strategi pembangunan nasional sebelum otonomi daerah diberlakukan.

Justru sebaliknya, dengan adanya pemekaran daerah kabupaten/kota, biaya produksi dalam kegiatan ekonomi masyarakat dapat ditekan dengan memangkas jalur birokrasi yang panjang. Demikian halnya, Pemerintah daerah dan swasta dapat membangun pusat-pusat pelayanan serta fasilitas yang berguna dekat dengan masyarakat yang membutuhkan.

Perlu diingat, bahwa bagi kebanyakan daerah lainnya, kebijakan otonomi daerah memiliki arti yang sangat penting. Desentralisasi pengawasan, jika hal ini bisa berjalan dalam pengertian yang nyata, akan memiliki pengaruh mendalam terhadap kehidupan masyarakat adat dan masyarakat desa. Selain itu, ia juga berpengaruh terhadap cara pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Bagi masyarakat lokal, hutan, tanah, air bersih dan sumber daya laut di adalah sumber kehidupan dimana mereka bergantung. Otonomi daerah akan berhasil atau gagal, sangat tergantung pada apakah ia akan membantu menghentikan gelombang eksploitasi dan penghisapan yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia atau tidak.

Ujian yang sesungguhnya juga terletak pada kekuatan demokrasi pada tingkat lokal. Seberapa cepat dan seberapa jauh masyarakat lokal dapat menjamin bahwa mereka dapat mengambil bagian penuh dalam pembuatan keputusan terhadap pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam. Secara ideal, keberhasilan otonomi daerah akan memberikan pengawasan demokratis terhadap proses pembentukan kebijakan, penegakan hukum yang efektif serta pemerintahan daerah yang bersih dan transparan. Proses ini juga akan memberikan peluang penggunaan sumber daya alam berkelanjutan untuk kepentingan seluruh masyarakat sekarang dan di masa yang akan datang.

Di sisi lain, dari segi yang terburuk, kegagalan akan menyebabkan pengalihan kekuasaan kepada pusat-pusat pemerintahan daerah dengan para pemimpinnya yang bertingkah seperti tiran kecil dan hanya mencontoh ulang praktek-praktek perampokan sumber daya alam pada era Suharto untuk keuntungan pribadi secara maksimal di tingkat daerah. Atau - jika pemerintahan pusat tetap bersikeras untuk mempertahakan kontrol mereka,- hasilnya mungkin adalah ketidakadilan sosial yang sama dan pelanggaran lingkungan yang seringkali dikaitkan dengan pemusatan kekuasaan di Jakarta sampai sekarang. Hal ini akan mengakibatkan ledakan gejolak sosial dan ketidakstabilan politik yang lebih besar.

APBN: Dikuras Daerah atau Dikuras Pusat ?

“Dalam Pidatonya Presiden SBY pernah mengemukakan bahwa belanja negara untuk dana perimbangan ke semua daerah mencakup Rp 220,1 triliun atau menghabiskan sekitar sepertiga dari total belanja negara tahun 2006 dan jika daerah terus berkembang, bukan tidak mungkin anggaran negara untuk sektor lainnya menjadi terpangkas.”

Secara teoritik, pemekaran daerah kabupaten/kota seharusnya berbanding lurus dengan tingkat pendapatan negara, karena pendapatan negara juga bersumber dari pajak-pajak daerah atau hasil ekploitasi sumber daya alam di daerah. Dengan adanya keluhan dari pemerintah pusat perihal pemekaran daerah yang menguras anggaran dalam APBN, kita juga patut untuk mempertanyakan lho kok bisa ??

Dalam sistem Negara Kesatuan, bukankah Pemerintah Pusat berkewajiban untuk memimpin pembangunan nasional ? Secara faktual, pembangunan harus dilakukan di seluruh wilayah indonesia, yang terdiri atas, daerah kabupaten/kota, kecamatan hingga desa. Artinya, APBN pada prinsipnya memang diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat Indonesia.



0 komentar:

 
© free template by Blogspot tutorial